Tujuan Hidup dalam pandangan Calvinis GKI – Melawan Teologi Kemakmuran

Tujuan Hidup dalam pandangan Calvinis GKI – Melawan Teologi Kemakmuran

Tujuan Hidup dalam pandangan Calvinis GKI – Melawan Teologi Kemakmuran 1200 628 Web Admin

Tulisan dari Tebernakel GKI Camar edisi Januari 2017, oleh Yason Resyiworo Hyangputra dengan judul yang sama “Tujuan Hidup dalam pandangan Calvinis GKI – Melawan Teologi Kemakmuran”

Tujuan hidup manusia secara umum sangat beragam. Ada tujuan hidup jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan hidup berguna untuk menuntun manusia dalam mengarahkan aktivitas dan kegiatan hidup sehari-hari.

Misalnya, tujuan hidup orang Jawa adalah keharmonisan, baik dengan Tuhan, alam, maupun sesama. Oleh karena itu kita sering melihat bahwa orang Jawa menghindari konflik, dan mencari jalan tengah dalam setiap permasalahan karena prinsip harmoni sebagai tujuan hidup.

Sekali lagi, tujuan hidup itu beragam. Ada manusia yang tujuan hidupnya adalah harta. Maka orang yang demikian, aktivitas dan kegiatannya sehari-hari hanya didasarkan pada alasan dan motif harta. Ada manusia yang tujuan hidupnya adalah kekuasaan.

Maka ia akan selalu berusaha menguasai orang lain ataupun memiliki jabatan dan kekuasaan dalam hidupnya. Ada manusia yang tujuan hidupnya nama baik, kesempurnaan hidup sehingga orang-orang yang demikian menjalani hidup dengan menggunakan “topeng” dan menganggap orang yang “bercela” menjadi lebih rendah derajatnya dari dirinya, padahal kita tahu jelas tidak ada manusia yang sempurna dan semua manusia sama di hadapan Allah.

Saya ingin fokus pada satu hal yaitu menentang bahwa tujuan hidup manusia adalah kesuksesan. Sudah lama, dan belakangan ini semakin marak lagi pembahasan mengenai “teologi kemakmuran”. Apa itu?sesuaikah dengan tujuan hidup manusia?apa bedanya dengan doktrin Calvinis?

Kenapa Calvinis? Karena GKI termasuk di dalam gereja yang mengaku Calvinis atau paling tidak dipengaruhi Calvinisme. GKI merupakan penyatuan dari 3 Sinode (Jabar, Jateng, Jatim) yang sejak Agustus 1994 menyatakan bersatu (Aritonang 2015, 52). GKI Camar sebagai jemaat anggota GKI perlu menelusuri lebih dalam kekayaan tradisi Calvinis ini, terutama yang berkaitan dengan tujuan hidup untuk melawan teologi kemakmuran.

Janganlah kita menyelidiki apa yang dibiarkan Allah menjadi misteri dan janganlah kita abaikan apa yang telah disingkapkanNya, supaya kita tidak dihukum karena dalam hal yang satu kita terlalu ingin tahu, dan dalam hal yang lain kita tidak bersyukur (Calvin 1980, 157-173).

Salah satu hal yang menjadi bukti GKI juga tergolong gereja Calvinis adalah dalam tataran dokumen gereja, pada Tata Gereja GKI, bagian Tata Dasar, Pasal 3 ayat 4 mengatakan bahwa “GKI, dalam ikatan dengan tradisi Reformasi, menerima Katekismus Heidelberg” (BPMS GKI 2003, 16). Katekismus Heidelberg (1563) menjadi pedoman pengajaran agama dan kitab pengakuan iman dalam gereja-gereja Calvinis berbahasa Jerman dan Belanda.

Ketika orang Belanda datang ke Indonesia, mereka membawa serta kitab katekismus mereka. Katekismus Heidelberg oleh para misionaris dipakai sebagai pedoman katekisasi ketika mereka di Indonesia (End 2000, 201-202).

GKI sendiri tidak lagi menggunakan Katekismus Heidelberg sebagai buku katekisasi tetapi menggunakan buku katekisasi yaitu “Tumbuh dalam Kristus” dan “Tuhan Ajarlah Aku” (BPMS GKI 2003, 46). Walaupun demikian Katekismus Heidelberg tetap diakui dan diterima sebagai dokumen konfesi yang utama dari alur Calvinis abad XVI.

Baca Juga: Teologi Pengangkatan (Rapture Theology)…

Penerimaan ini dimaksudkan sebagai penerimaan kekayaan warisan historis untuk memberikan kepada GKI ciri Reformasi umumnya dan Calvinis khususnya (BPMS GKI 2003, 27). Tentu membutuhkan kajian tersendiri dan mendalam untuk mengatakan dan membuktikan bahwa GKI adalah Calvinis sejati tetapi untuk sekarang cukuplah saya menerima bahwa GKI dalam kaitannya dengan Reformasi, memelihara tradisi Calvinis.

Kedaulatan Allah dan Predestinasi adalah kata kunci untuk memahami tujuan hidup manusia menurut Calvin dan kemudian kita akan melihat perbedaannya dengan teologi kemakmuran.

Predestinasi dan kedaulatan Allah

Calvin sangat terkenal dengan teologinya mengenai kedaulatan Allah. Bagi Calvin, alam semesta ini adalah thetrium gloriam dei (panggung kemuliaan Allah). Tujuan dari diciptakannya langit, bumi dan segala isinya, termasuk manusia adalah untuk memuliakan nama Allah. Akan tetapi tujuan itu rusak dengan adanya dosa.

Allah berinisiatif dengan kedaulatanNya untuk menyelamatkan manusia melalui inkarnasi Yesus Kristus. Oleh karena itu sebagai dampaknya terdapat pemilihan, siapa yang akan selamat dan tidak selamat.

Dalam buku Institutio, Calvin sendiri menegaskan bahwa pembicaraan mengenai Predestinasi adalah pembicaraan yang mengandung bahaya, tetapi perlu juga dikemukakan. Predestinasi menimbulkan rasa ingin tahu orang, dan tidak ada palang yang dapat mencegah orang-orang untuk mengembara, menempuh jalan-jalan terlarang, yang berputar-putar, dan menerobos ke atas, ke Allah. Bagi manusia kalau bisa tak bakal ada tersisa bagi Allah satu rahasiapun yang ditelusuri dan diselidiki manusia.

Baca Juga: Kronos, Aion, Kairos: Memahami Waktu dari Kacamata Alkitab

Oleh karena itu Calvin mengingatkan manusia usaha sia-sia tersebut (usaha yang seperti undian atau tebak-tebakan siapa yang selamat dan tidak) sebab bagi Calvin pemilihan adalah rahasia, dan misteri Allah, bahkan hak prerogatif Allah untuk memilih manusia yang diselamatkan oleh Allah dan siapa manusia yang tidak diterima oleh Allah.

Janganlah kita menyelidiki apa yang dibiarkan Allah menjadi misteri dan janganlah kita abaikan apa yang telah disingkapkanNya, supaya kita tidak dihukum karena dalam hal yang satu kita terlalu ingin tahu, dan dalam hal yang lain kita tidak bersyukur (Calvin 1980, 157-173).

Calvin berpedoman dan menyatakan doktrin predestinasi berdasarkan Efesus 1:4, bahwa kita dipilih dalam Kristus sejak sebelum dunia dijadikan. Tapi pemilihan itu bukan karena kita layak memperolehnya, bukan karena amal dan perbuatan kita dan bukan karena sesuatu yang ada dalam diri kita tetapi pada anugerah dan kedaulatan Allah.

Pemilihan manusia yang diselamatkan itu ada dan karenanya sebagai kontra atau lawannya yaitu penolakan juga ada. Pertanyaan terbesar mengenai predestinasi yang juga dijawab olehnya di dalam buku ini adalah “mengapa Allah sudah dari mulanya mentakdirkan kematian bagi beberapa orang yang tidak mungkin pantas diberi hukuman mati, karena mereka belum ada?”.

Calvin menjawab bahwa pertanyaan ini harus dijawab dengan pertanyaan juga, bahwa “apakah menurut mereka ada utang Allah kepada manusia?” dengan kata lain hukuman mati itu adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa digugat manusia karena ukuran mengenai siapa yang ditetapkan sejak awal untuk diselamatkan atau dihukum adalah ukuran Allah (Calvin 1980, 157-173).

Secara singkat kita dapat melihat bahwa predestinasi adalah bentuk kedaulatan Allah suatu ketetapan ilahi, bahwa sejak awal Allah telah menetapkan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan mengalami kebinasaan.

Bagi umat, hal diselamatkan dan tidak diselamatkan adalah rahasia Allah, ditambah lagi lahirnya reformasi telah meniadakan semua tanda yang selama ini (berdasarkan ajaran Katolik) diyakini sebagai tanda keselamatan yaitu sakramen dan sikap tunduk pada otoritas imam.

Extra ecclesiam nulla salus, di luar gereja (Katolik) tidak ada keselamatan, sudah tidak diakui lagi kebenarannya. Ketiadaan tanda jaminan keselamatan ini membuat umat Protestan mengalami masalah besar (KPT GKI SW Jabar 2010, 261).

Meskipun demikian Calvin sebetulnya menegaskan bahwa tugas utama orang beriman adalah percaya bahwa mereka adalah orang yang terpilih dan karena itu harus menghilangkan segala macam bentuk keraguan.

Namun demikian efek buruknya adalah kaum Protestan tetap berusaha mencari “tanda”, yang memberikan keyakinan bahwa mereka diselamatkan. Satu-satunya “tanda” adalah munculnya keyakinan diri (self confidence) sebagai pengganti tanda imamat akan anugerah keselamatan Allah. Efek buruknya adalah bahwa sukses duniawi menjadi sarana untuk menumbuhkan dan meneguhkan kepercayaan diri tersebut (KPT GKI SW Jabar 2010, 262).

Jadi jelas bahwa sejak awal Calvinis tidak menekankan sukses duniawi, tapi itu hanyalah efek buruk dari kekhawatiran akan tanda keselamatan. Ini nanti berbeda dengan teologi kemakmuran.

Sukses ekonomi yang banyak terjadi di kalangan Protestan (lihat buku Weber juga mengenai The Protestant ethic and the spirit of capitalism yang membandingkan kantong-kantong Protestan di Eropa lebih makmur dibanding kantong-kantong Katolik di Eropa dan alasannya diduga karena spirit Protestan khususnya Calvinis) juga disebabkan oleh keyakinan kaum Protestan, terutama Calvinis, bahwa mereka dipanggil untuk menekuni kerja duniawi dengan penuh kesungguhan. Inilah etos kerja Calvinis. Ini memperkuat paham Luther bahwa pekerjaan dipandang sebagai panggilan ilahi.

Hal ini membuat secara konkret, kaum Calvinis bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Pengaruh Pietisme (kesalehan) melahirkan sikap individualisme yang membuat kaum Protestan menjauh hal yang berbau politik, sehingga waktu dan tenaga mereka dipakai dan tercurah sepenuhnya untuk menekuni pekerjaan mereka.

Sementara itu, melihat tujuan hidup dalam pandangan calvinis atas penggunaan uang untuk kemewahan bagi sebagian kaum Protestan, terutama Calvinis, dianggap melanggar kepatutan bahkan suatu dosa sedangkan penggunaan uang untuk tujuan amal (misalnya membantu kaum miskin) juga dibatasi karena dikuatirkan bantuan tersebut tidak akan menolong kaum miskin malah akan membuat mereka semakin malas.

Lalu untuk apa uangnya kalau bukan untuk diinvestasikan kembali dalam pekerjaan mereka. Dengan etos kerja yang demikianlah, mendorong lahirnya sistem kapitalisme dan yang membuahkan kemakmuran dalam ajaran Calvinis adalah kerja keras, menekuni pekerjaan dengan sungguh-sungguh, hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan (KPT GKI SW Jabar 2010, 262).

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa Protestantisme tidak melahirkan kapitalisme. Kapitalisme, sebagai sebuah sistem ekonomi lahir dari suatu proses sejarah yang panjang, yang melibatkan berbagai peristiwa sejarah yang tidak bisa direduksi begitu saja sebagai hasil karya Protestantisme atau Calvinisme belaka.

Hal yang hendak ditegaskan adalah bahwa Protestantisme, khususnya Calvinisme, telah menyediakan lahan subur bagi lahir dan berkembangnya kapitalisme.

Maka amat mengada-ada bila ada yang menghubungkan antara Calvin (sebagai pribadi) dengan kapitalisme, atau mengatakan bahwa Calvin lah bapak Kapitalisme. Kapitalisme, tentu saja sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Calvin semasa hidupnya (KPT GKI SW Jabar 2010, 260).

Teologi kemakmuran vs Tujuan hidup dalam pandangan Calvinis

Lalu di mana letak perbedaan antara teologi kontemporer saat ini yaitu teologi kemakmuran dengan teologi yang dikembangkan Calvinisme?

Pertama kita perlu melihat bahwa teologi kemakmuran – Tujuan hidup dalam pandangan Calvinis – mengajarkan bahwa Allah berkenan menganugerahkan kemakmuran kepada setiap orang yang kepadanya Allah berkenan. Kemakmuran yang dimaksud bukan hanya mencakup finansial tetapi juga kesehatan dan keberhasilan dalam segala bidang.

Kemakmuran dilihat sebagai tanda iman yang benar, yang diwujudkan dalam keyakinan dan ketaatan umat. Dengan demikian teologi kemakmuran melihat ada hubungan kausalitas antara keilahian dan kemakmuran.

Teologi ini secara simplisistik, mengambil jalan pintas dengan mengukur kualitas iman dan kehidupan manusia dengan kuantitas kepemilikan. Semakin seseorang makmur maka itu tanda bahwa ia semakin diberkati dan memiliki iman yang benar (KPT GKI SW Jabar 2010, 266).

Sementara itu, Calvinisme (melalui Puritanisme) tidak mendorong umat untuk mengejar kemakmuran dan menumpuk kekayaan sebesar-besarnya. Malahan kehidupan semacam itu dianggap sebagai kehidupan dalam dosa. Etos kerja dan pengumpulan kemakuran yang terjadi adalah imbas dari suatu pokok ajaran.

Calvinisme menekankan bahwa manusia harus bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari sedangkan teologi kemakmuran dengan sadar menekankan pentingnya umat mencari dan mengumpulkan kekayaan sebagai tanda bahwa mereka diberkati dan tanda bahwa mereka memiliki iman yang benar. Inilah perbedaan antara Calvinisme dengan teologi kemakmuran (KPT GKI SW Jabar 2010, 266).

Kesimpulan

Jelaslah bahwa tujuan hidup manusia menurut Calvin adalah memuliakan Allah dan bukan kemakmuran (baik dalam hal harta, kekuasaan, kesuksesan dan sebagainya). Tujuan hidup dalam pandangan calvinis ini jelas bertentangan dengan teologi kemakmuran dan pola hidup materialisme pada era postmodern sekarang ini.

Bagi Calvin, dan juga seharusnya saya dan jemaat, sebagai anggota gereja GKI Camar dalam bagian dengan Sinode GKI yang menganut Calvinis, kehidupan ini adalah panggung kemuliaan Allah (Thetrium Gloriam Dei), sehingga apapun yang dilakukan dalam kehidupan ini justru harus mewujudkan kemuliaan Allah dalam diri sendiri, sesama, maupun alam sebagai ciptaan Allah.

 

Referensi:

  1. Aritonang, Jan S. 2015. Berbagai aliran di dalam dan di sekitar gereja. Jakarta : BPK
    Gunung Mulia.
  2. BPMS GKI. 2003. Tata Gereja GKI (Gereja Kristen Indonesia). Jakarta : Badan Pekerja
    Majelis Sinode (BPMS) Gereja Kristen Indonesia.
  3. Calvin, Yohanes. 1980. Institutio christianae religionis (terj. Winarsih Arifin, Th. van den
    End dan J.S Aritonang). Jakarta : BPK Gunung Mulia.
  4. End, Th. van den. 2000. Enam belas dokumen dasar Calvinisme. Jakarta : Gunung Mulia.
  5. Komisi Pengkajian Teologi (KPT) GKI SW Jabar. 2010. Seri kajian teologi : Calvinis aktual.
    Jakarta : KPT GKI SW Jabar.

Leave a Reply

Back to top