Pendidikan Agama dalam Keluarga dan Peran Orang Tua

Pendidikan Agama dalam Keluarga dan Peran Orang Tua

Pendidikan Agama dalam Keluarga dan Peran Orang Tua 1200 675 Tabernakel

Pendidikan agama dalam keluarga merupakan salah satu pilar utama dalam membangun iman yang kuat dan berakar sejak dini. Sepanjang sejarah umat Allah, keluarga menjadi ruang pertama dan utama tempat anak-anak mengenal Tuhan, menerima ajaran-Nya, dan melihat keteladanan hidup dari orang tuanya.

Dalam perkembangan zaman yang semakin cepat ini, penting bagi keluarga Kristen untuk kembali menilik pola pendidikan iman yang sudah diteladankan sejak zaman Israel kuno, juga melalui ajaran dan hidup Tuhan Yesus sendiri. Pemahaman ini akan menolong kita dalam menjalankan peran keluarga dalam pendidikan iman anak dengan lebih bijak dan relevan.

Pendidikan Agama dalam Keluarga Israel Kuno

Untuk memahami pola pendidikan agama pada masa Israel kuno, kita dapat merujuk kepada Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, kita melihat bahwa Abraham, Ishak, dan Yakub bukan hanya pemimpin keluarga, tetapi juga menjadi guru rohani bagi keturunan mereka. Mereka mengajarkan tentang perbuatan-perbuatan Allah yang agung serta janji-janji-Nya yang menjadi warisan turun-temurun bagi bangsa Israel.

Abraham menerima panggilan Allah dengan komitmen untuk hidup taat dan menyembah-Nya. Tanggung jawab ini tidak hanya dijalani secara pribadi, tetapi juga diteruskan kepada anaknya, Ishak. Ishak melanjutkan pengajaran itu kepada Yakub, dan Yakub mewariskan pengajaran yang sama kepada anak-anaknya, termasuk Yusuf. Ketika Yusuf berada di Mesir, ajaran yang diterimanya sejak kecil tetap melekat dalam dirinya, terbukti dari sikapnya yang menolak godaan istri Potifar.

Pada masa Israel diperbudak di Mesir, Allah memilih Musa sebagai pemimpin dan guru bagi umat-Nya. Musa bukan hanya membawa mereka keluar dari perbudakan, tetapi juga memberikan dasar-dasar hukum dan pengajaran yang harus dijalankan oleh bangsa Israel. Pengajaran ini menjadi warisan yang terus diajarkan oleh para pemimpin sesudahnya.

Selain para nabi dan pemimpin, pendidikan agama juga dilaksanakan oleh para imam di Bait Suci yang bertugas menjaga dan mengajarkan Taurat. Setiap orang Israel, termasuk rakyat biasa, juga memikul tanggung jawab untuk meneruskan ajaran Tuhan kepada keturunannya. Dalam tradisi Paskah, misalnya, para ayah menceritakan kembali kepada anak-anak mereka tentang karya penyelamatan Allah, agar menjadi penghiburan dan penguatan iman.

Teladan Tuhan Yesus dalam Mengajar

Tuhan Yesus adalah Guru Agung yang mengajar tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata. Ia dikenal sebagai “Rabbi”, sebuah gelar yang menunjukkan kedalaman pengajaran-Nya dalam hal-hal rohani. Yesus tidak membatasi pengajaran-Nya di tempat atau waktu tertentu. Ia mengajar di bukit, di perahu, di rumah, dan di berbagai tempat lain, kapan pun kesempatan itu ada.

Salah satu keistimewaan pengajaran Yesus adalah pendekatannya yang mendorong orang untuk berpikir. Ia tidak memaksakan ajaran-Nya secara dogmatis, tetapi membimbing orang untuk merenung dan mengambil kesimpulan sendiri. Yesus memakai perumpamaan, pertanyaan, dan percakapan sebagai metode utama-Nya. Bahkan, Ia juga mengajarkan nilai-nilai melalui perbuatan, seperti saat Ia membasuh kaki murid-murid-Nya sebagai simbol kerendahan hati dan pelayanan.

Puncak dari pengajaran Yesus adalah teladan pengorbanan-Nya di salib. Dengan ketaatan total kepada Bapa, Yesus mengajarkan arti kasih yang sejati dan keselamatan bagi umat manusia.

Relevansi dengan Keluarga Kristen Saat Ini

Melalui penjabaran di atas, kita belajar bahwa pendidikan agama dalam keluarga merupakan tanggung jawab utama orang tua. Mereka dipanggil untuk memperkenalkan Allah kepada anak-anak dan mengajarkan firman-Nya secara turun-temurun. Gereja tentu hadir sebagai mitra, tetapi bukan sebagai pengganti peran orang tua dalam mendidik iman anak.

Sayangnya, tidak sedikit orang tua masa kini yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan agama kepada sekolah minggu atau lembaga gerejawi. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan orang tua, sehingga peran orang tua dalam pendidikan iman anak sangat penting.

Dalam menjalankan peran ini, orang tua dapat menggunakan berbagai cara yang sederhana namun bermakna. Bercerita tentang pimpinan dan berkat Tuhan pada masa lalu saat makan bersama, berbagi pengalaman rohani dalam perjalanan keluarga, atau menetapkan waktu khusus untuk mezbah keluarga dapat menjadi momen berharga untuk menanamkan nilai iman kepada anak-anak.

Tentu, kesibukan dan tantangan zaman modern membuat waktu bersama keluarga menjadi terbatas. Namun, ini bukan alasan untuk melepaskan tanggung jawab rohani. Kita bisa menggunakan teknologi untuk tetap terhubung dengan anak-anak, seperti melalui percakapan rohani via pesan singkat, video call, atau media lainnya.

Dalam mendidik, orang tua juga perlu meneladani Yesus yang tidak memaksakan ajaran, melainkan membimbing anak berpikir dan memahami makna firman. Ketika mengajarkan bahwa mencuri adalah dosa, misalnya, anak juga perlu dibantu memahami konsekuensi dari perbuatan itu, bukan sekadar menerima larangan.

Selain itu, orang tua perlu mengajar dengan teladan, bukan hanya dengan perkataan. Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang mereka dengar. Jika orang tua rajin berdoa, anak-anak akan cenderung mengikuti. Jika orang tua bersikap jujur dan rendah hati, anak-anak akan belajar untuk hidup demikian pula.

Pendidikan agama dalam keluarga adalah warisan tak ternilai yang akan membentuk karakter dan iman anak-anak untuk masa depan. Marilah kita, sebagai orang tua dan keluarga Kristen, meneladani pola pendidikan iman dari Alkitab, dan menghadirkannya dengan cara yang relevan di masa kini.

 

Disadur dari Buletin Tarbernakel GKI Camar, dengan judul “Pola Pendidikan Agama pada Masa Israel Kuno, Teladan Tuhan Yesus, dan Relevansinya dengan Konteks Saat Ini”

Leave a Reply

Back to top