Latar Belakang Penulisan Kitab Wahyu

Latar Belakang Penulisan Kitab Wahyu

Latar Belakang Penulisan Kitab Wahyu 1200 628 Tabernakel

Memahami latar belakang penulisan Kitab Wahyu menjadi penting agar kita dapat melihat maknanya dengan benar dalam konteks iman Kristen. Artikel ini menyajikan pengantar untuk mengenal konteks, maksud, dan simbol-simbol yang terdapat dalam kitab terakhir Perjanjian Baru ini.

Daftar Isi

Kitab Wahyu, bagi sebagian orang dianggap sulit dipahami dan paling kontroversial, sehingga menimbulkan banyak penafsiran terhadap kitab ini. Martin Luther, menerima kitab ini tetapi menempatkan kitab ini sebagai kitab yang tergolong antilegomena (bahasa Yunani, yang berarti “sesuatu yang diperdebatkan).

Kitab Wahyu termasuk sastra Apokalyptis, sastra khas, yang tidak memiliki padanan dalam sastra modern. Sebagai pembanding dalam kitab PL, hanya terdapat sebuah kitab Apokalypsis yaitu kitab Daniel

Sementara itu, Yohanes Calvin, menerimanya sebagai kitab kanonik meskipun di antara Kitab-kitab Perjanjian Baru, hanya untuk kitab Wahyu saja ia tidak membuat tafsirannya. (Subandrijo 2010, 135).

Kendati Kitab Wahyu sulit dipahami dan menimbulkan penafsiran yang beragam, penting bagi kita untuk mengetahui latar belakang dan maksud dari penulisan Kitab Wahyu. Penulis beranggapan bahwa seluruh tulisan dan kitab yang menjadi bagian dari kanonisasi Alkitab adalah berguna untuk perkembangan iman, termasuk di dalamnya kitab Wahyu, sehingga penting bagi kita untuk mendalaminya.

Tulisan berikut akan mencoba mengulas dan memaparkan latar belakang dan maksud dari penulisan kitab Wahyu sebagai pengantar untuk mempelajari dan mendalaminya.

Keunikan Kitab Wahyu

Kitab Wahyu, tergolong sebagai penyataan Allah (Wahyu, Apokalypsis) melalui Yesus Kristus yang diberikan kepada Yohanes (Wahyu 1:1) sebagai nubuat (Wahyu 1:3), yang dimaksudkan untuk dibaca keras-keras dalam ibadah Kristen dan sebagai sebuah surat (Wahyu 1:4-6).

Wahyu dapat dilihat sebagai nubuat apokalyptis dalam bentuk sebuah surat edaran untuk ketujuh jemaat di provinsi Asia Kecil. Kitab ini termasuk sastra Apokalyptis, sastra khas, yang tidak memiliki padanan dalam sastra modern. Sebagai pembanding dalam kitab PL, hanya terdapat sebuah kitab Apokalypsis yaitu kitab Daniel. (Subandrijo 2010, 136).

Makna Simbol dan Tujuan Penulisan Kitab Wahyu

Kitab Wahyu timbul dari konteks historis terjadinya huru-hara besar, penganiayaan, dan penindasan. Menghadapi penindasan tersebut, umat menantikan keadilan Allah dalam sejarah.

Kitab Wahyu ditulis dan disajikan dalam bentuk penglihatan, mimpi dan pengalaman spiritual yang lainnya.

Kitab ini ditulis dan disusun secara hati-hati dan dengan keahlian tersendiri. Pesannya tidak disampaikan secara lisan melainkan digubah. Sehingga kitab Wahyu penuh dengan simbol-simbol yang melibatkan hasil dari kaidah tertentu, jalan pikiran, penggunaan bahasa secara kreatif dan lain-lain agar pesannya samar dan hanya dapat dimengerti oleh yang menulis dan kepada siapa tulisan tersebut ditujukan.

Kitab Wahyu dimaksudkan untuk mengkomunikasikan makna suatu misteri, atau untuk menyatakan suatu rahasia yang telah lama tersembunyi di masa lampau. (Subandrijo 2010. 136-137).

Gambaran-gambaran dan simbol yang ada dalam kitab Wahyu dan juga bahasanya bersifat samar, metaforis, sangat simbolis. Simbol-simbol diambil dari bahasa, pengalaman, dan budaya purba. Sifat simbolis kitab Wahyu ini tersirat sejak awal.

Pada Wahyu 1:1 dalam versi bahasa Yunani, tampak kata kerja semaino (Yunani) yang berarti “menandakan” atau “memberitahukan”. Kata kerja ini erat berhubungan dengan kata benda semeion (Yunani) yang berarti “tanda” atau “simbol”.

Kata kerja semaino (Yunani) menunjukkan metode komunikasi yang digunakan untuk memberitahukan suatu kebenaran secara simbolis, figuratif atau imajinatif, bukan secara definitif. Karena itu, maksud yang sebenarnya kadang-kadang tidak sepenuhnya dapat dipahami, terlebih bagi orang modern yang sudah berada jauh dari peristiwanya. (Subandrijo 2010. 145).

Mengenai pembahasan simbol, penulis menyarankan agar pembaca membaca langsung buku dari Bambang Subandrijo, dosen Perjanjian Baru STT Jakarta, yang menjadi acuan dalam tulisan ini.

Sejarah dan Latar Belakang Penulisan Kitab Wahyu

Menurut tradisi awal, kitab ini ditulis pada akhir masa pemerintahan Domitianus, sekitar 95-96 M. Hal ini disimpulkan berdasarkan situasi yang sedang dialami jemaat, yaitu intensifikasi penyembahan Kaisar dan konflik-konflik yang terjadi sehubungan dengan itu, menyebabkan kitab ini, disimpulkan oleh para ahli, ditulis pada akhir masa pemerintahan Domitianus.

Gambaran jemaat-jemaat Asia Kecil juga mendukung, karena situasi kritis dalam jemaat secara internal dan ancaman ajaran sesat yang dihadapi oleh jemaat. (Subandrijo 2010. 140).

Pengakuan iman Kristen mula-mula, adalah bahwa “Yesus adalah Tuhan” (1 Korintus 12:3). Deklarasi ini berlawanan dan dianggap penolakan terhadap pengakuan orang Roma bahwa “Kaisar adalah Tuhan”. Menolak otoritas tertinggi/ Kaisar berarti pengkhianatan dan bisa dijatuhi hukuman mati atau dibuang. Kesetiaan atas iman Kristen menyebabkan orang Kristen mengalami penganiayaan oleh kekaisaran Romawi pada masa itu. (Kistemaker 2011, 38).

Isi, Makna Simbol dan Penafsiran Kitab Wahyu

Kitab Wahyu menyampaikan kebenaran secara simbolis dan imajinatif, bukan secara definitif

Isi dan Penafsiran Kitab Wahyu

Isi Kitab Wahyu merupakan nubuat tentang peristiwa yang telah digenapi pada abad pertama. Kekaisaran Romawi, yang digambarkan dengan metafora “Babel besar” atau “ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi” (Wahyu 17:5) diidentifikasi sebagai penganiaya gereja.

Harmagedon, (Wahyu 16:16) dipahami sebagai penghakiman Allah atas orang-orang Yahudi, yang dilaksanakan melalui para prajurit Romawi, yang digambarkan sebagai “binatang” (therion, Yun.) Paruh kedua kitab Wahyu berisi penganiayaan yang dilakukan Romawi kepada umat Kristen dan kejatuhan kekaisaran Romawi.

Kaisar Nero adalah yang dimaksud dengan binatang buas (Wahyu 13:18) karena dalam perhitungan gematria Ibrani purba, nama Neron Caesar memiliki bilangan 666. (Subandrijo 2010, 141).

Kesimpulan dan Pesan

Telah kita lihat, bahwa latar belakang penulisan kitab Wahyu tidak dapat dilepaskan dari konteks penganiayaan Romawi terhadap umat Kristen pada masa itu. Penganiayaan disebabkan penolakan terhadap penyembahan terhadap Kaisar yang umat Kristen lakukan karena satu-satunya yang layak disembah adalah Tuhan Yesus Kristus.

Kitab Apokaliptik Wahyu ditulis dengan menggunakan bahasa simbol-simbol dan metafora untuk mensandikan pesan yang sesungguhnya terdapat dalam kitab tersebut yaitu bahwa Allah tidak akan tinggal diam terhadap penganiayaan umatNya dan keharusan untuk tetap tekun bertahan dalam penderitaan kendati berada dalam penganiayaan.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kita tidak bisa sembarangan menafsirkan kitab ini dan harus berhati-hati. Penafsiran yang sembarangan dan serampangan yang mengatakan mendapat penglihatan akhir jaman dan menekankan pada kepentingan penyembahan individu semata, tidaklah dapat diterima.

Penafsiran kitab Wahyu tidak dapat dilepaskan dari konteks pada masa Wahyu ditulis dan kita pada masa sekarang yang seringkali menderita karena penganiayaan oleh karena nama Kristus, dapat belajar dari pesan utama kitab ini bahwa Tuhan tidak tinggal diam terhadap umatNya. (YRH).

Diambil dari Buletin Tabernakel GKI Camar dan ditulis Oleh: Yason Resyiworo Hyangputra, dengan judul yang sama

Daftar Acuan
Subandrijo, Bambang. 2010. Menyingkap pesan-pesan Perjanjian Baru 2. Bandung : Bina Media
Informasi.
Kistemaker, Simon J. 2011. Tafsiran kitab wahyu. Surabaya : Momentum.

Share
Tentang Penulis

Tabernakel

Kumpulan Tulisan dan Artikel dari buletin Tabernakel GKI Camar sebagai media iman untuk bertumbuh dan informasi kepada jemaat kristen dan khususnya jemaat GKI Camar.

Leave a Reply

Back to top