Diambil dari Buletin Tabernakel GKI Camar – 2016 – dengan judul yang sama “Anak Tidak Nurut atau Orangtua Tidak Mengerti?”. Dua hal tersebut adalah hal yang sering dikeluhkan dalam keluarga, apalagi keluarga dengan anak yang sedang tumbuh remaja. Para orang tua mengeluh “anak tidak nurut” karena merasa apa yang dikatakannya selalu dibantah oleh anak, bahkan anak malah melakukan kebalikan dari yang diharapkan orang tua. Di sisi lain, anak mengeluh “orang tua tidak mengerti” perasaan mereka, sehingga anak sering merasa disalahkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Kalau begini terus, bisa-bisa terjadi perang dunia ke-3. Lalu, siapa yang harus berubah? Orang tua atau anak?
Keduanya! Dalam hubungan apapun, keberhasilan dapat diraih dengan usaha dari kedua belah pihak, tidak bisa hanya satu pihak saja. Oleh karena itu, untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga, orang tua dan anak harus bekerja sama mengusahakannya. Kalau sepakat, kita tinggal cari tahu bagaimana caranya..
Baca Juga: Bahaya Pornografi pada Anak dan Cara Pendampingannya
Pertama, ada prinsip yang perlu kita sama-sama pegang: “anak wajib untuk taat pada orang tua”, sesuai dengan perintah alkitab (Ef 6:1; Kol 3:20). Kedua, ada prinsip yang sepertinya perlu dihilangkan, yaitu “orang tua selalu benar.” Orang tua memang sudah hidup lebih lama, kaya akan pengalaman, lebih luas dalam hal pengetahuan, tapi bukan berarti SELALU benar. Orang tua mungkin belum tahu tentang perkembangan yang terjadi di zaman sekarang, orang tua mungkin melewatkan beberapa informasi penting tentang anaknya, orang tua mungkin lupa. Hal-hal itu yang membuat seringkali orang tua perlu juga mendengarkan ide atau pemikiran dari sisi anak, sekaligus mencari tahu trend masa kini dan bagaimana menyikapinya.
Selanjutnya, selain mengharapkan perubahan dari orang lain, tentunya kita juga perlu memperhatikan bagaimana diri kita bersikap atau introspeksi. Untuk orang tua, ada beberapa sikap/perilaku orang tua yang dapat mempengaruhi psikologi anak. Bagaimana kita bersikap terhadap orang tua dan pasangan kita. Ayah yang mengacuhkan orang tuanya, Ibu yang seringkali kontra dengan Ayah dan bertengkar di depan anak, orang tua yang tidak sering mengunjungi atau merawat orang tuanya (oma/opa dari anak), sebaiknya jangan terlalu berharap untuk bisa memiliki anak yang patuh. Apa yang anak kita lakukan, sedikit banyak adalah seperti yang kita lakukan. Kalau kita sebagai orang tua, belum bisa melakukan dan menunjukkan cukup respek (penghargaan) kepada orang tua kita atau orang tua anak-anak kita (pasangan kita), darimana anak bisa belajar respek untuk menghargai kita?
Kemudian, terlalu banyak menasihati/mengritik/mengoreksi/memarahi anak juga akan berakibat anak enggan mendengarkan dan membuat anak tidak nurut kepada orang tua. Frekuensi menasihati/mengritik/ mengoreksi/memarahi anak yang terlalu tinggi (sering, berulang pada banyak hal, nada bicara yang selalu meninggi, teguran yang tidak tepat waktu/sasaran) dapat membuat anak menjadi jengah dan malah menutup hatinya dari semua perkataan orang tua. Sehingga meskipun maksud dari teguran orang tua adalah baik, anak sudah tidak mau mendengarkannya. Jangankan menurut, mendengar saja sudah malas. Biasanya hal ini terjadi karena adanya sakit hati dalam diri anak terhadap orangtuanya (Ef 6:4). Sering menerima teguran membuat anak merasa tidak mampu, banyak kekurangan, tidak percaya diri, dan hal-hal negatif lainnya yang terpancar melalui sikapnya yang cenderung melawan atau memberontak.
Untuk anak, pahamilah bahwa seperti apapun mereka, orang tua adalah wali Allah di dalam dunia. Allahpun memerintahkan kita untuk menghormati orang tua, sebagaimana adanya mereka (Kel 20:12). Oleh karena itu, menaati orang tua adalah keharusan! Sebagaimana kita menaati perintah-perintah Allah, demikian pula kita menaati orang tua kita. Ini yang terutama harus kita tanamkan dalam hati dan pikiran kita. Selanjutnya, percayalah bahwa orang tua selalu berniat untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya, pasti! (Mat 7:9-10). Hanya saja, mungkin terkadang orang tua lupa bahwa ada hal-hal yang harus diperhatikan, seperti privasi anak, zaman yang sudah berubah, kemajuan teknologi, dan hal-hal lainnya, itu yang membuat mereka tidak sepaham dengan anak. Komunikasikanlah hal-hal tersebut dengan baik kepada orang tua kita. Buat mereka mengerti melalui obrolan ringan yang menyenangkan.
Terakhir, wujud kasih sayang. Kalau kita mengaku “sayang” kepada orang tua kita, tentunya kita mau menyenangkan hati mereka dengan melakukan apa yang mereka minta. Dengan kata lain, kita bisa menunjukkan wujud rasa sayang kita kepada orang tua dengan cara menaati mereka. Kalau belum bisa taat, coba cek lagi ke dalam hati kita, apakah kita sungguh-sungguh mengasihi orang tua kita? Terlebih lagi, apakah kita sungguh mengasihi dan percaya kepada Allah yang sudah menempatkan kita di keluarga ini?
Saya yakin, jika orang tua dan anak sama-sama memiliki kerinduan untuk memiliki keluarga yang rukun dan saling menyayangi, tentunya kita sama-sama mau bersikap yang terbaik sehingga kerukunan bisa tercipta di keluarga kita. Tuhan Yesus Memberkati
Sumber: Buletin Tabernakel GKI Camar – Juli 2016
Leave a Reply